Assalamu'alaikum Fren

Semoga Bermanfaat

Jumat, 20 April 2012

PENERAPAN B-30 DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KETAHANAN ENERGI DAN PEREKONOMIAN NASIONAL


Oleh Heriawan

Energi merupakan faktor kunci penggerak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara. Akibatnya, banyak negara memposisikan energi sebagai kebutuhan vital yang pertama dan utama harus dipenuhi. Indonesia misalnya, negara yang dahulu bersandar pada minyak bumi sebagai sumber energi utamanya, sekarang harus bersusah-payah mencari sumber energi lain sebagai penggantinya. Hal tersebut disebabkan cadangan terbukti (proven reserves) minyak bumi Indonesia tinggal sedikit, yaitu sekitar 5 miliar barrel atau  0,3% dari cadangan terbukti minyak bumi dunia ( Rhohadi Awaludin, 2006, hal.166)
Sementara itu, kebutuhan energi di negeri ini selalu meningkat seiring bartambahnya jumlah industri, perdagangan, jasa, dan penduduk. Akibatnya, Presiden mengeluarkan Perpres No. 5 Tahun 2006 tantang kebijakan energi nasional. Di dalamnya disebutkan mengenai sasaran bauran energi untuk jenis energi pada tahun 2025, yaitu minyak bumi kurang dari 20%, gas bumi lebih dari 30%, batu bara lebih dari 33%, BBN (bahan bakar nabati) lebih dari 5%, panas bumi lebih dari 5%, energi baru dan terbarukan lebih dari 5%, dan sisanya batu bara yang dicairkan (Perpres No. 5 Tahun 2006). Secara umum, Perpres tersebut masih  memprioritaskan  sumber  energi  yang  butuh  waktu lama untuk dapat diperbarukan sebagai sandaran utama sumber energi nasional, sedangkan BBN, sumber energi yang dapat diperbarukan (renewable) termasuk biodiesel di dalamnya baru diharapkan minimal 5% (B-5) pada tahun 2025.
Langkah yang dilakukan presiden dengan menargetkan minimal B-5 pada tahun 2025 tidaklah salah, mengingat tujuan utamanya masih dalam taraf memperkenalkan biodiesel dihadapan masyarakat. Namun lebih jauh dari itu, biodiesel merupakan sumber energi yang berkelanjutan (sustainable) dan berpeluang besar menggantikan solar Indonesia di masa depan, mengingat sumber daya yang dibutuhkan sebagian besar telah tersedia di negeri ini. Oleh karena itu, penerapan B-30 (30% biodiesel dan 70% solar) di Indonesia pada tahun 2050 sebagai upaya meningkatkan ketahanan energi dan perekonomian nasional  merupakan suatu langkah yang realistis dan mempunyai harapan besar untuk dapat terwujud.
Proses Pembuatan dan Keunggulan Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar nabati yang memiliki sifat seperti minyak solar yang mengandung ester metil asam lemak. Menurut Dr. Tirto Prakoso, proses pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut:
Biodiesel dibuat dengan mereaksikan Crude Palm Oil (CPO) dengan metanol atau etanol melalui reaksi esterifikasi dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi berkatalis menjadi senyawa ester dengan produk samping gliseril” (Tirto Prakoso, 2006, hal.3).
Proses yang lain disampaikan oleh Soerawidjaja TH sebagai berikut:
“Biodiesel dibuat dengan proses metanolisis atau etanolisis minyak lemak. Proses tersebut diawali dengan pencampuran antara minyak lemak dan metanol atau etanol pada suhu 25-80oC. Hasilnya adalah ester metil atau etil asam lemak atau biodiesel dan gliseril” (Soerawidjaja, 2005, hal.43).
Sedangkan Ir. Renilaili, M.T dan Ir. Erna Yuliwati, M.T, menjelaskan proses pembuatan biodiesel melalui contoh, yaitu sebagai berikut:
Untuk pembuatan Biodiesel dari CPO, maka sebelumnya perlu dilakukan trans esterifikasi, proses trans esterifikasi meliputi 2 tahap. Trans esterifikasi I pencampuran antara Kalium Hidroksida ( KOH ) dan Metanol ( CH3OH ) dengan minyak sawit . proses trans esterifikasi I berlangsung sekitar 2 jam pada suhu 58–65 oC . Bahan yang pertama kali dimasukkan ke dalam reaktor adalah asam lemak yang selanjutnya dipanaskan pada suhu yang telah ditentukan. Reaktor trans esterifikasi dilenglkapi pemanas dan pengaduk. Selama proses pemanasan , pengadukan dijalankan. Tepat pada suhu reaktor 63 oC, campuran metanol dan KOH dimasukkan kedalam reaktor dan waktu reaksi mulai dihitung pada saat itu. Pada akhir reaksi akan terbentuk metil ester dengan konversi sekitar 94%, selanjutnya produk ini diendapkan selama waktu tertentu untuk memisahkan gliserol dengan metil ester. Gliserol yang terbentuk berada di lapisan bawah karena berat jenisnya lebih besar dari pada metil ester. Gliserol kemudian dikeluarkan dari reaktor agar tidak mengganggu proses trans esterifikasi II. Selanjutnya dilakukan trans esterifikasi II pada metil ester. Setelah proses trans esterifikasi II selesai , dilakukan pengendapan selama waktu tertentu agar gliserol terpisah dari metil ester atau biodiesel” (Renilaili dan Erna Yuliwati, 2009, hal.6).
Sementara itu, biodiesel memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan solar. Keunggulan tersebut seperti yang dijelaskan oleh Dr. Tirto Prakoso, yaitu sebagai berikut:
“Biodiesel 10 kali tidak beracun dibanding minyak solar biasa, memiliki angka setana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur serta senyawa aromatik, sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan, tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer, sehingga lebih jauh lagi mengurangi efek pemanasan global atau banyak disebut dengan zero CO­­2 emission” (Tirto Prakoso, 2006, hal.1).
Sedangkan Soerawidjaja TH menjelaskan keunggulan biodiesel sebagai berikut:
“Keunggulan biodiesel adalah ramah lingkungan karena tidak mengandung sulphure dan mempunyai emisi yang rendah serta tidak mengandung racun. Dengan cetane number yang tinggi menyebabkan pembakaran yang lebih sempurna. Viskositas yang tinggi menghasilkan pelumasan yang baik terhadap mesin” (Soerawidjaja, 2005, hal.43).

       Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit dan Jarak Pagar
Menurut data gerbang pertanian tahun 2010, kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada areal tertentu, yaitu sebagai berikut:
Daerah pengembangan tanaman kelapa sawit yang sesuai berada pada 15 °LU-15 °LS. Ketinggian lahan kelapa sawit yang ideal berkisar antara 0-500 m dpl. Kelapa sawit menghendaki curah hujan sebesar 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 29-30 °C. Intensitas penyinaran matahari sekitar 5-7 jam/hari. Kelembaban optimum yang ideal sekitar 80-90 %. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial, atau regosol. Nilai pH yang optimum adalah 5,0–5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik, dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas. Kondisi topografi pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o” (http://www.gerbangpertanian.com/2010).
Sementara itu, data BPPT  menyebutkan produktivitas tanaman kelapa sawit, yaitu Satu hektar lahan mampu menghasilkan 20-25 ton tandan kelapa sawit segar yang dapat diolah menjadi 3,5-5 ton CPO sejak tahun ketiga hingga usia produktif 20 tahun” (Data BPPT, 2007 ).  
Lain halnya dengan jarak pagar, tanaman yang tergolong pionir ini mampu tumbuh di segala tempat. Namun, untuk mendapatkan pertumbuhan dan produktivitas yang optimal, maka perlu persyaratan tumbuh sebagai berikut:
Ketinggian tanah 0-500 meter di atas permukaan laut, suhu kurang dari 20oC, curah hujan 300-1000 mm/tahun, dan pH tanah 5,5-6,5. Kondisi iklim yang tidak mendukung mengakibatkan produktivitas menjadi tidak optimal. Hal ini terlihat dari tingginya variasi produktivitas antara lokasi satu dengan lokasi lainnya” (Data Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan, 2006).
Penjelasan yang hampir sama disampaikan oleh Dr. David Allorerung, yaitu sebagai berikut:
“Jarak pagar mampu beradaptasi pada ketinggian 7-1600 meter dpl, dengan kondisi terbaik pada ketinggian kurang dari 500 dpl. Jarak pagar dapat tumbuh dengan baik pada lahan kritis dengan temperatur 11-38oC, curah hujan 300-2000 mm/tahun. Walaupun begitu, jarak pagar memerlukan air yang cukup hingga usia 2-3 tahun dan mampu bertahan hidup hingga usia 50 tahun” (David Allorerung, 2005, hal.46).
Sementara itu, Departemen Energi Nikaragua menjelaskan mengenai produktivitas jarak pagar, yaitu dalam setiap hektar lahan mampu dihasilkan 4-6,5 ton biji jarak/tahun atau 1,5-1,7 ton minyak jarak pertahun (Data Departemen Energi Nikaragua, 2005). Sedangkan Allorerung menyampaikan hal yang berbeda, yaitu dalam setiap hektar lahan dapat dihasilkan 4,2 ton minyak jarak pertahun (David Allorerung, 2005, hal.46). Hal yang berbeda juga disampaikan  oleh Dr. Ir. Robert Manurung, M.Eng, yaitu dalam satu hektar lahan dapat dihasilkan 4,3 ton minyak jarak pertahun (Manurung, 2005, hal.46).
       Strategi dan Keuntungan Diversifikasi Energi
Diversifikasi energi adalah program yang dapat meningkatkan ketahanan energi nasional. Untuk memperlancar program tersebut, Dr. Rohadi Awaludin menawarkan beberapa strategi, yaitu sebagai berikut:
“Pemerintah perlu mendorong penggunaan energi terbarukan  untuk memperkokoh pilar ketahanan energi nasional. Langkah-langkah yang perlu diambil yaitu pembenahan kebijakan fiskal dan keuangan, peningkatan daya saing energi terbarukan, pembuatan regulasi, peningkatan kapabilitas, dan promosi teknologi” (Rohadi Awaludin, 2006, hal.57).
Sedangkan untuk mempercepatnya, Dr. Brian Yuliarto menawarkan beberapa strategi, yaitu sebagai berikut:
“Beberapa hal yang mampu mempercepat proses diversifikasi energi di Indonesia antara lain membuat target besaran dan waktu yang lebih cepat untuk mewujudkannya, memberikan insentif dan regulasi perubahan sumber energi BBM, penguasaan dan optimalisasi teknologi yang mendukung penggunaan energi non-BBM, dan desentralisasi pengelolaan energi” (Brian Yuliarto, 2006, hal.126).
Sementara itu, diversifikasi energi dapat memicu stabilitas energi dalam suatu negara. Stabilitas energi ini memiliki manfaat seperti dijelaskan oleh Rogner dan Popescu dalam kajiannya yang dipublikasikan oleh UNDP, yaitu “Stabilitas energi merupakan faktor kunci bagi keberlangsungan pembangunan dan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi” (Rogner dan Popescu, 2006, hal.121). Hal yang serupa juga dijelaskan oleh Dr. Rohadi Awaludin, yaitu “Kestabilan pasokan energi telah menjadi tiang utama kestabilan sebuah masyarakat dan negara” (Rohadi Awaludin, 2006, hal.165). Sedangkan Li menyatakan bahwa, “Diversifikasi energi akan memberikan keuntungan pada jaminan kesehatan lingkungan, menjamin stabilitas pembangunan, dan dapat menjamin pasokan kebutuhan energi” (Li, 2006, hal.124).
A.    Perkembangan Biodiesel di Indonesia
Penelitian tentang biodiesel sudah dilakukan sejak tahun 1997 oleh Dr. Robert Manurung dari ITB (Institut Teknologi Bandung) dengan fokus ekstraksi minyak jarak (Kompas, 12 Mei 2005). Pada tahun  2004, penelitian ini mendapat dukungan dari Mitsubishi Research Institute (MIRI) dan  New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang (Kompas, 12 Mei 2005). Dua tahun kemudian berdiri 2 pabrik biodisel berskala besar di Indonesia, yaitu PPKS di Medan dan Eterindo di Gresik (http://www.datacon.co.id/Biofuel2008Ind.html). Sedangkan pada Mei 2007, Indonesia telah  memiliki 6 industri besar dan beberapa industri kecil dan menengah yang memproduksi biodiesel dengan total produksi 900.000 ton pertahun (Departemen ESDM, 2007). Industri-industri  tersebut  dapat dilihat   pada   tabel  berikut ini.
Tabel 1
Industri Biodiesel di Indonesia sampai Mei 2007

Nama Industri
Produksi (ton/tahun)
Bahan Baku
PT Eterindo Wahanatama
120.000
Baragam
PT Sumi Asih
100.000
CPO (Minyak Sawit)
                                                                            
PT Indo BBN
50.000
Baragam
Wilmar Bioenergy
350.000
CPO (Minyak Sawit)
PT Bakrie Rekin Bioenergy
150.000
CPO dan Jarak Pagar
PT Musim Mas
100.000
CPO (Minyak Sawit)
Industri Kecil dan Menengah
30.000
Beragam
Total Produksi
900.000
Beragam
 Sumber: Departemen ESDM 2007

Sementara itu,  hingga awal tahun 2010 sudah ada tujuh pabrik biodiesel yang beroperasi secara komersial di Indonesia. Tujuh pabrik biodiesel tersebut yaitu PT Energi Alternatif Indonesia, PT Eterindo Wahanatama Tbk, PT Platinum Resins Indonesia, PT Sumi Asih Oleokimia, PT Ganesha 77,  PT Indo biofuels Energy, dan PT Wilmar Bioenergi (Wawasan, Tantangan, dan Peluang Agrotechnopreneur Indonesia, Juni 2010).
Perlu diketahui, jumlah produksi biodiesel Indonesia pada tahun 2010  telah mencapai 3,90  juta ton (Data Ditjen Migas, 2011) atau 16,18% konsumsi solar nasional yang mencapai 24,1 juta kL pada tahun 2010 (Data Kementerian ESDM, 2011) atau 59,43% impor solar nasional yang telah mencapai 46,9 juta barrel pada tahun 2009 (http://VIVAnews.com/2010).  Dari jumlah tersebut, hanya 1,2 juta ton  yang  telah diubah menjadi B-5 (solar 95% dan biodiesel 5%) oleh pertamina, karena butuh biaya yang besar (Data Ditjen Migas, 2011). B-5  sudah mulai dipasarkan pada tahun 2006 di 198 SPBU di Jakarta dan 12 SPBU di Surabaya, dengan total konsumsi 215.727 kL (Pertamina, 2007). Sedangkan pada tahun 2008, B-5 telah dipasarkan di 411 SPBU di Jakarta, Denpasar, dan Surabaya (http://www.republika.co.id).
      Prospek Penerapan B-30 di Indonesia pada Tahun 2050 Ditinjau dari Aspek Sumber Daya Energi, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Ketersediaan Teknologi, dan Biaya Investasi
1.         Sumber Daya Energi
Energi yang dihasilkan oleh biodiesel tidak jauh berbeda dengan energi yang dihasilkan oleh solar, yaitu 128.000 BTU untuk biodiesel dan 130.000 BTU untuk solar, sehingga engine torque dan tenaga kuda yang dihasilkannya pun  relatif sama (http://agribisnis.deptan.go.id/Biodiesel). Selain itu, dalam penggunaannya tidak perlu modifikasi pada mesin diesel yang sekarang ada, selama masih di bawah B-50 (50% biodiesel) (Data KADIN Indonesia, 2008). Catane number biodiesel pun lebih tinggi dibandingkan solar, sehingga waktu yang dibutuhkan antara masuknya bahan bakar (fuel injection) dan terjadinya pembakaran (fuel ignition) jauh lebih singkat atau lebih mudah menghidupkan mesin (http://annedtp09.wordpress.com/perkembangan-industri-biofuel). 
Sementara itu, tingkat emisi biodiesel juga dapat ditekan, seperti emisi CO2 dapat ditekan hingga 73%, emisi metana dapat dikurangi hingga 51%, hidrokarbon yang tidak terbakar dapat berkurang sebesar 67%, emisi CO turun 48%, dan sulfur oksida  dapat ditekan hingga 100% (http://annedtp09.wordpress. com/2010/05/04). Flash point biodiesel pun lebih tinggi dibanding solar, sehingga tidak mudah terbakar akibat tekanan yang rendah. Biodisel juga mengandung sedikit sulfur, sehingga kemampuan pelumasannya baik (http://annedtp09. wordpress.com/perkembangan-industri-biofuel). Jadi, penerapan biodiesel secara besar di Indonesia selain berpotensi meningkatkan ketahanan energi dan perekonomian nasional juga berpotensi meminimalkan pencemaran lingkungan.
2.         Sumber Daya Alam
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati yang bahan bakunya tersebar di Indonesia. Potensi terbesar adalah minyak sawit atau CPO (Crude Palm Oil) sebab Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar di dunia dengan produksi CPO sebesar 19,2 juta ton pada tahun 2008 (http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=279060).  Selain CPO, potensi terbesar lain adalah jarak pagar (Jatropha curcas), yaitu tanaman yang mampu tumbuh di lahan kritis, sehingga sangat menguntungkan  Indonesia karena berdasarkan data statistik tahun 2004, Indonesia masih memiliki lahan kritis seluas 22,11 juta ha. Untuk persebaran lahan kritis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2
Luas Lahan Kritis di Indonesia Tahun 2003

Daerah
Dalam Kawasan Hutan (Ha)
Luar Kawasan Hutan (Ha)
Jumlah (Ha)
Sumatera
1.950.850
4.084.551
6.035.401
Jawa
338.203
1.270.731
1.608.934
Bali, NTT, dan NTB
348.102
1.237.581
1.585.683
Kalimantan
2.580.290
4.489.506
7.069.796
Sulawesi
943.669
827.657
1.771.326
Maluku dan Papua
1.825.372
2.218.328
4.043.700
Total
7.986.486
14.128.354
22.114.840
Sumber: Statistik Indonesia 2004
Sementara itu, biodiesel dapat diproduksi dengan cara blending, yaitu mencampur sekian persen biodiesel dengan sekian persen solar. Agar blending bisa menghasilkan upgrading yang nyata terhadap kualitas bahan bakar solar campuran, maka blending optimum berada pada kisaran 30% biodiesel dan 70% solar (B-30). Banyaknya biodiesel yang dibutuhkan untuk pembuatan B-30 sangatlah ditentukan oleh target waktu penerapannya dan laju pertambahan konsumsi solar. Menurut Renilaili (2009), laju konsumsi BBM nasional sekitar 6-7% pertahun. Dengan mengasumsikan target waktu pencapaian pada tahun 2050 dan laju pertambahan konsumsi solar sebanding dengan laju konsumsi BBM, maka perkiraan banyaknya biodiesel yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
Konsumsi solar tahun 2010     = 24 juta kL                                             (Real)
Konsumsi solar tahun 2011     = 24 x 6,5% + 24           = 25,56 juta kL (Prediksi)
Konsumsi solar tahun 2012     = 25,56 x 6,5% + 25,56 = 27,22 juta kL (Prediksi)
dengan prinsip yang sama, maka akan diperoleh
Konsumsi solar tahun 2050     = 91,20 juta kL                                        (Prediksi)
Biodiesel yang dibutuhkan     = 30% x 91,20                = 27,36 juta kL
Dengan mengasumsikan bahan tambahan yang diperlukan 10% dan efisiensi biodiesel yang dihasilkan 90%, maka bahan baku yang dibutuhkan adalah sebanyak biodiesel yang dihasilkan, yaitu 27,36 juta kL. Sementara lahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan bahan baku sebanyak ini adalah seluas
a.       untuk jarak pagar
27,36 : produksi minyak jarak pagar perhektar     = 27,36 : 2,12
                                                                                    = 12,90 juta ha
Asumsi:
1 ha lahan kritis                                           = 6,5 ton biji jarak 
Rendemen minyak                                     = 30%
produksi minyak jarak pagar/ha             = 6,5 x 30%          = 1,95 ton              = 2,12 kL
Massa jenis minyak jarak                         = 0,92 ton/kL                      
b.      untuk kelapa sawit
27,36 : produksi CPO perhektar   = 27,36 : 5,62  = 4,86 juta ha
Asumsi:
1 ha lahan                                                     = 25 ton tandan kelapa sawit 
Rendemen minyak                                     = 20%
produksi CPO/ha                                         = 25 x 20%           = 5 ton   = 5,62 kL
Massa jenis CPO                                         = 0,89 ton/kL      
Pertambahan lahan kelapa sawit seluas 4,86 juta ha pada tahun 2050 tidaklah susah dicapai, mengingat laju perluasan kebun sawit sebesar 6-8% pertahun. Begitu juga untuk jarak yang seluas 12,90 juta ha, mengingat lahan kritis di negeri ini masih ada sekitar 22,11 juta ha. Jadi, potensi sumber daya alam yang dimiliki indonesia sangat mendukung penerapan B-30 pada tahun 2050.
3.         Sumber Daya Manusia
Di perkebunan kelapa sawit, 1 hektar lahan membutuhkan 2 pekerja, sedangkan di perkebunan jarak pagar, 2 hektar lahan membutuhkan 1 pekerja. Untuk pengolahannya, satu pabrik biodiesel yang berkapasitas 3.000 ton pertahun membutuhkan setidaknya 30 tenaga kerja. Semakin besar kapasitas pabrik, semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Untuk sektor distribusi, relatif tidak membutuhkan tenaga kerja baru karena bisa memanfaatkan jalur distribusi PT Pertamina (http://www.fkdpm.org/artikel/111-energi-alternatif).
Mengacu pada paragraf di atas, maka jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk penerapan B-30 yaitu sebanyak
a.       untuk B-30 CPO
tenaga kerja di kebun        = 4,86 x 2                                = 9,72 juta orang
tenaga kerja di pabrik        = 24,07 juta : 3.000 x 30         = 240.768 orang
Asumsi:
Luas lahan kelapa sawit            = 4,86 juta ha  (1 ha lahan membutuhkan 2 pekerja)
Produksi total biodiesel/tahun  = 27,36 juta kL    = 24,07 juta ton
Massa jenis biodiesel                  = 0,88 ton/kL  
Pabrik dengan kapasitas 3.000                ton biodiesel/tahun membutuhkan 30 pekerja           
b.      untuk B-30 MJ (minyak jarak)
tenaga kerja di kebun        = 12,90 : 2                               = 6,45 juta orang
tenaga kerja di pabrik        = 24,07 juta : 3.000 x 30         = 240.768 orang
Asumsi:
Luas lahan jarak                         = 12,90 juta ha  (2 ha lahan membutuhkan 1 pekerja)
Produksi total biodiesel/tahun  = 27,36 juta kL    = 24,07 juta ton
Massa jenis biodiesel                  = 0,88 ton/kL
Pabrik dengan kapasitas 3.000                ton biodiesel/tahun membutuhkan 30 pekerja           
Tenaga kerja sebanyak ini tidaklah susah didapatkan,  mengingat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,32 juta orang pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, 990 ribu adalah lulusan sarjana dan 1 juta adalah lulusan diploma (Data BPS, 2010).  Teknik pengelolaan perkebunan jarak dan sawit pun tidak jauh berbeda dengan teknik pengelolaan perkebunan lain dan proses pembuatan biodiesel pun tidak terlalu rumit,  sehingga sumber daya manusia yang ada sekarang ini sebenarnya telah berpotensi mendukung penerapan B-30 pada tahun 2050.
4.         Ketersediaan Teknologi
Dalam pemrosesan biodiesel tidak memerlukan unit-unit operasi yang rumit dan beresiko  tinggi. Reaktor berpengaduk adalah unit utama dalam pemrosesannya, di samping unit penting lainnya yaitu unit pemisahan dan pemurnian, sehingga untuk membuatnya dimungkinkan dilakukan dalam skala rumah tangga. Beberapa rancang bangun pabrik biodiesel telah banyak dikembangkan di Indonesia, seperti oleh ITB (Institut Teknologi Bandung), PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit), dan BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi). ITB dan BPPT juga sudah melakukan rekayasa pabrik dan uji jalan kendaraan bermesin diesel dengan menggunakan bahan bakar biodiesel. Pada bagian reaktornya, ITB telah mengembangkan reaktor dengan nama Superhigh Conversion Reactor untuk meningkatkan efisiensi perolehan reaksi dalam waktu singkat. Pada saat ini juga di ITB sudah ada sedikitnya dua mobil staf pengajar yang setiap hari berjalan dengan bahan bakar biodiesel dengan tidak ada masalah (http://www.migasindonesia.com/PotensiBiodiesel.doc). Dengan demikian, secara teknis dan teknologi pengembangan B-30 pada tahun 2050 sudah siap dilaksanakan di Indonesia.
5.         Biaya Investasi
Biaya investasi akan dialokasikan untuk pendirian pabrik biodiesel, biaya produksi, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan, pengembangan teknologi, sumber daya manusia, dan perkebunan. Menurut perkiraan Pemerintah, melalui Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, untuk memproduksi biodiesel sebanyak 2,41 juta kL/tahun dibutuhkan sekitar 35 pabrik pengolahan dengan rata-rata produksi per pabrik 60.000 ton biodiesel/tahun. Mengacu pada penelitian Palm Oil Institute tahun 2010, untuk membangun pabrik pengolahan biodisel dibutuhkan  investasi sebesar 2 juta rupiah perton atau 121,14 miliar per pabrik dengan kapasitas produksi 60.000 ton/tahun. Biaya tersebut dialokasikan untuk pengadaan peralatan, konstruksi, sipil, dan utilitas. Dengan demikian, untuk mencapai B-30 (24,07 juta ton biodiesel/tahun) pada tahun 2050, baik dengan bahan baku minyak sawit ataupun minyak jarak sama-sama membutuhkan pabrik pengolahan biodiesel dengan kapasitas 60.000 ton/tahun sebanyak 401 pabrik dengan total investasi pendirian pabrik sebesar 48,14 triliun rupiah.
Sementara itu, biaya produksi  biodiesel berbeda antara bahan baku sawit dan jarak, mengingat harga bahan bakunya berbeda. Rincian biaya produksi untuk masing-masing biodiesel akan dijabarkan melalui dua sudut pandang. Sudut pandang pertama ketika harga bahan baku normal dan sudut pandang kedua ketika harga bahan baku anjlok. Untuk rincian biaya produksi ketika harga bahan baku normal adalah  sebagai berikut:
a.       Biodiesel CPO
Harga CPO                       = 6,78 juta rupiah/ton CPO x 24,07 juta ton CPO
                                          = 163,19 triliun rupiah            (A)
Biaya pengolahan              = 700 rupiah/L biodiesel x 27,36 juta kL biodiesel
                                          = 19,15 triliun rupiah              (B)
Biaya produksi                  = 182,34 triliun rupiah/tahun  (A + B)
                                          = 6.664 rupiah/L
                                          = US$111,52/barrel
b.      Biodiesel MJ (minyak jarak)
Harga minyak jarak (MJ)  = 6,86 juta rupiah/ton MJ x 24,07 juta ton MJ
                                          = 165,12 triliun rupiah            (A)
Biaya pengolahan              = 700 rupiah/L biodiesel x 27,36 juta kL biodiesel
                                          = 19,15 triliun rupiah              (B)
Biaya produksi                  = 184,27 triliun rupiah            (A + B)
                                          = 6.735 rupiah/L                     = US$112,71/barrel
Keterangan:
a.       Harga CPO diperoleh dari pendapatan normal produsen CPO, yaitu harga ekspor CPO (US$839,73 per ton atau 7,97 juta/ton rata-rata tahun 2010) dikurangi pajak ekspor pemerintah sebesar 15% harga ekspor (Peraturan Menteri Perdagangan No.67, 2010).
b.       Biaya pengolahan meliputi gaji pekerja pabrik, biaya pembelian bahan-bahan tambahan, listrik, bahan bakar mesin, administrasi, dan lain-lain.
c.        Harga minyak jarak diperoleh dari pendapatan normal produsen minyak jarak, yaitu harga ekspor minyak jarak (US$850/ton atau 8,07 juta/ton rata-rata tahun 2010) dikurangi pajak ekspor pemerintah sebesar 15% harga ekspor (Peraturan Menteri Perdagangan No.67, 2010).
Sementara untuk rincian biaya produksi biodiesel ketika harga bahan baku anjlok adalah  sebagai berikut:
a.       Biodiesel CPO
Harga CPO                       = 4,2 juta rupiah/ton CPO x 24,07 juta ton CPO
                                          = 101,09 triliun rupiah            (A)
Biaya pengolahan              = 700 rupiah/L biodiesel x 27,36 juta kL biodiesel
                                          = 19,15 triliun rupiah              (B)
Biaya produksi                  = 120,24 triliun rupiah/tahun  (A + B)
                                          = 4.395 rupiah/L
                                          = US$73,55/barrel
b.      Biodiesel MJ
Harga minyak jarak (MJ)  = 4,5 juta rupiah/ton MJ x 24,07 juta ton MJ
                                          = 108,31 triliun rupiah            (A)
Biaya pengolahan              = 700 rupiah/L biodiesel x 27,36 juta kL biodiesel
                                          = 19,15 triliun rupiah              (B)
Biaya produksi                  = 127,46 triliun rupiah            (A + B)
                                          = 4.658 rupiah/L                     = US$77,96/barrel
Biaya investasi lain yang juga perlu dianggarkan untuk memperlancar penerapan B-30 dan menunjang keberlanjutan B-30 adalah pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan, pengembangan teknologi, sumber daya manusia, perkebunan sawit, dan pengembangan jarak yang dapat mencapai 100 triliun rupiah. Dengan demikian, biaya investasi total yang harus dikeluarkan untuk penerapan B-30 pada masa pertama adalah sekitar 260-332 triliun rupiah, sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya adalah sekitar 160-232 triliun rupiah. Biaya sebesar ini tidaklah harus ditanggung semua oleh pemerintah, pemerintah dapat mendatangkan investor dari dalam maupun dari luar  terutama dalam hal pendirian pabrik.

       Tantangan Penerapan B-30 di Indonesia pada Tahun 2050
1.         Harga B-30 Lebih Mahal dibanding Harga Solar Murni
Mahalnya biaya produksi biodiesel disebabkan masih tingginya harga minyak jarak dan CPO sebagai bahan bakunya. Hal ini disebabkan tingginya permintaan CPO dunia dan masih minimnya yield biji jarak yang dihasilkan, yaitu hanya sekitar 4-6,5 ton/ha (Data Departemen Energi Nikaragua, 2005). Rendemen minyak yang dihasilkannyapun masih belum maksimal, yaitu belum bisa mencapai 40%, rata-rata hanya  25-30%. Di samping itu, harga solar juga masih disubsidi oleh pemerintah, sehingga hanya 4.500 rupiah/L saat ini (subsidi sekitar 1.700 rupiah/L), harga tersebut menurut pemerintah telah ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan UU APBN 2011 serta perkembangan harga minyak dalam satu tahun terakhir, sementara harga produksi biodiesel sekitar  4.395-6.735 rupiah/L (tanpa subsidi dan belum  ongkos blending).
2.         Perluasan Areal Penanaman Jarak Pagar  Menghadapi Kendala
Potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sampai sekarang belum bisa dimanfaatkan pemerintah secara maksimal untuk pengembangan jarak pagar. Hal tersebut dapat dilihat dari target penanaman jarak pagar oleh pemerintah di tahun 2007 yang hanya tercapai kurang dari 5% dari 600.000 ha target atau hanya tercapai 25.000 ha. Rendahnya capaian target ini disebabkan belum adanya kejelasan harga beli biji jarak oleh pemerintah. Kalaupun ada sangat rendah,  yaitu berkisar 500-800 rupiah/kg. Patokan harga sebesar itu mungkin benar jika saja dalam satu hektarnya dapat dihasilkan 10-12 ton biji jarak, namun pada realitanya hanya sekitar 6,5 ton. Banyak petani yang kemudian patah arang menanam jarak pagar karena jaminan harga yang terlalu rendah.
3.         Perluasan Areal Kelapa Sawit untuk Suplai Bahan Baku Biodiesel Tersendat
Terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 19 Mei 2011 tampaknya akan sedikit memperlambat pertumbuhan produksi CPO sebagai bahan baku biodiesel, karena Inpres ini telah menghambat ekspansi lahan kelapa sawit baru. Sebelum adanya moratorium, ekspansi lahan sawit bisa mencapai 500.000-600.000 ha/tahun. Dengan adanya Inpres ini, ekspansi lahan bisa terpangkas 100.000-200.000 ha. Dalam 2 tahun ke depan, ekspansi lahan hanya sekitar 300.000-400.000 ha/tahun. Terhambatnya ekspansi lahan ini akan berimbas pada terhambatnya peningkatan produksi CPO nasional, yaitu hanya sekitar 4 juta ton CPO dalam 2 tahun ke depan.
4.         Kurangnya Pasokan Biodiesel sebagai Bahan Baku B-30
Dari 22 pabrik biodiesel yang ada sekarang (besar, menengah, dan kecil), tinggal lima yang memiliki kontrak dengan Pertamina. Sisanya menyuplai keperluan ekspor. Hal ini disebabkan Pertamina sebagai konsumen utama biodiesel membeli bahan bakar alternatif ini dengan harga di bawah ongkos produksi. Anggota staf pengembangan bisnis PT Wilmar, Max Ramajaya, menyatakan bahwa biodiesel di dalam negeri hanya dihargai US$300 per kiloliter, sedangkan di luar negeri bisa mencapai US$700. Minat investor untuk mengembangkan industri biodiesel di tanah air pun menjadi berkurang.
5.         Pengguna B-30 Sedikit
Ketidaktahuan pengguna solar mengenai B-30 merupakan salah satu tantangan yang dapat menyebabkan sedikitnya pengguna B-30 dimasa depan.  Hal ini dapat disebabkan kurangnya sosialisasi, kampanye, dan pengiklanan tentang B-30, baik dari aspek keunggulan dan keberlanjutannya di massa depan.
6.         Merugikan Pihak Lain
Dengan direncanakannya pengembangan lahan secara besar-besaran untuk industri biodiesel, maka dikhawatirkan produksi CPO dan minyak jarak yang berlimpah di dalam negeri akan menyebabkan disparitas harga dengan luar negeri. Kondisi ini dikhawatirkan tidak menguntungkan pelaku usaha. Di samping itu, hal tersebut juga dikhawatirkan merusak habitat lain yang berisiko mengurangi keanekaragaman hayati.
7.         Pengangguran Tidak Berkurang
Penciptaan lapangan kerja dikhawatirkan tidak sesuai dengan target, dengan anggapan industri biodiesel hanya akan menarik tenaga kerja yang sudah berpengalaman dari sektor lain dibanding mengambil tenaga kerja dari pengangguran.

      Strategi Penerapan B-30 di Indonesia
Di dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, disebutkan bahwa pengembangan biodiesel sebagai energi terbarukan akan dilaksanakan dalam kurun waktu 25 tahun, dimulai dari persiapan pada tahun 2004 dan eksekusi sejak tahun 2005. Periode 25 tahun tersebut dibagi dalam tiga fasa pengembangan. Fasa pertama (2005-2010) ditandai dengan pemanfaatan biodiesel minimum sebesar 2%. Fasa kedua (2011-2015) ditandai dengan penggunaan tumbuhan lain sebagai bahan mentah dan pendirian pabrik-pabrik berskala komersial. Fasa ketiga (2016-2025) ditandai dengan penerapan teknologi untuk membuat biodiesel mencapai level high performance dimana produk yang dihasilkan memiliki angka setana yang tinggi dan casting point yang rendah (Perpres Nomor 5 Tahun 2006).
Meninjau Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 di atas dan realita yang terjadi di lapangan, ternyata usaha-usaha yang telah ditempuh pemerintah untuk merealisasikan Perpres tersebut masih menghadapi berbagai kendala seperti yang telah penulis paparkan pada pembahasan sebelumnya. Oleh sebab itu,  untuk menerapkan B-30 di Indonesia pada tahun 2050 perlu disusun strategi-strategi yang lebih jelas, komprehensif, dan terpadu, tidak hanya secara internal tetapi juga secara eksternal, strategi-strategi ini meliputi:
1.         Ekstensifikasi Lahan Perkebunan (2025 sampai 2045)
Ekstensifikasi lahan perkebunan dilakukan dengan cara perluasan areal penanaman kelapa sawit dan jarak. Usaha-usaha yang perlu dilakukan seperti pendataan terpadu oleh pemda-pamda setempat mengenai luas lahan kritis, lahan tidur, dan lahan marjinal yang ada di daerahnya. Dalam pendataan perlu dicatat kestrategisan lahan, kondisi lingkungan sekitar, dan frekuensi hujan yang terjadi di lahan tersebut, sehingga prioritas lahan mana yang akan ditanami terlebih dahulu dapat diketahui.
Langkah selanjutnya adalah penanaman pada lahan prioritas satu, dua, tiga, dan seterusnya. Selain untuk mencukupi kebutuhan bahan baku biodiesel, perluasan lahan  juga bertujuan untuk membedakan antara bahan baku yang akan diekspor dan bahan baku yang akan dibuat biodiesel, agar harga bahan baku tersebut bisa lebih murah dibanding harga yang ditetapkan pasar dunia. Alasannya adalah apabila bahan baku ini digabungkan dengan bahan baku yang akan diekspor, maka harga bahan baku yang akan diekspor menjadi lebih murah karena jumlahnya banyak, tetapi jika bahan baku ini dipisah, maka harga jual bahan baku yang akan diekspor menjadi tinggi karena jumlahnya lebih sedikit, sementara harga bahan baku yang akan digunakan  sebagai biodiesel dapat ditekan.
2.         Intensifikasi Lahan Perkebunan (2025 sampai 2045)
Tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan sekarang rata-rata menghasilkan  3,5-5 ton CPO/ha/tahun (Data BPPT, 2007) dan untuk tanaman jarak menghasilkan 4-6,5 ton biji jarak/ha/tahun atau 1,2-1,95 ton minyak jarak/ha/tahun (Data Departemen Energi Nikaragua, 2005). Untuk meningkatkan yield ini dapat ditempuh melalui intensifikasi lahan perkebunan. Intensifikasi dapat ditempuh melalui perawatan kebun yang teratur dan penanaman lahan menggunakan varian unggul. Varian  unggul ini dapat diperoleh melalui penelitian yang dapat dilakukan secara terpadu oleh LIPI, PUSLITBANG, universitas, atau kerja sama  luar negeri.
Sementara itu, pusat-pusat pengembangan varian unggul perlu dibuat agar kebutuhan bibit tercukupi, sehingga hasil perkebunan dapat meningkat dan harga bijinyapun murah. Murahnya harga biji ini tidak akan merugikan petani sebab hasil kebun mereka telah meningkat dibanding sebelumnya. Akibatnya, biaya produksi biodiesel menjadi lebih murah.
3.         Sinkronisasi Hubungan Antara Petani, Pengolah Biji, Pabrik Biodiesel, Pertamina, dan Pemerintah (2025 sampai 2050)
Sinkronisasi dilakukan agar tidak ada pihak yang dirugikan dan   tercipta hubungan harmonis antara petani, pengolah biji, pabrik biodiesel, pertamina, dan pemerintah. Strategi ini diawali dengan penyuluhan oleh pemerintah ke daerah-daerah yang memiliki lahan terbengkelai, ujicoba penanaman sampai dua kali panen, dan eveluasi bersama untuk menentukan harga dan solusi terhadap kendala-kendala yang dihadapi dalam uji coba. Langkah  kedua  adalah pendirian pabrik-pabrik pengolah biji menjadi minyak. Langkah selanjutnya adalah menambah  pabrik biodiesel disekitar atau bersatu dengan pabrik pengolah biji. Langkah terakhir adalah menetapkan harga biodiesel yang layak, yaitu yang menguntungkan pertamina dan tidak merugikan pabrik pembuat.
4.         Penerapan Sistem Blending Menyeluruh (2050 sampai selanjutnya)
Sistem blending menyeluruh dilakukan dengan cara mencampur 30% biodiesel dengan 70% solar di seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya, harga B-30 yang dijual pun harga blending, yaitu sekitar Rp6.132,00 untuk yang bersubsidi dan Rp6.982,00 untuk yang tidak bersubsidi, dengan asumsi sebagai berikut:
a.       Untuk Harga Solar Bersubsidi
Harga normal biodiesel minyak sawit                               = Rp6.664,00/L
Gross margin pabrik biodiesel                                          = Rp    600,00/L
Harga solar bersubsidi                                                       = Rp4.500,00/L
Biaya blending                                                                  = Rp   200,00/L
Gross margin  pertamina                                                  = Rp   300,00/L
Total                                                                                  = Rp12.264,00
Harga jual B-30     = total : 2 = Rp12.264,00 : 2               = Rp6.132,00/L
b.      Untuk Harga Solar Tidak Bersubsidi
Harga normal biodiesel minyak sawit                               = Rp6.664,00/L
Gross margin yang diharapkan pabrik biodiesel              = Rp    600,00/L
Harga solar Tidak bersubsidi                                            = Rp6.200,00/L
Biaya blending                                                                  = Rp   200,00/L
Gross margin yang diharapkan pertamina                        = Rp   300,00/L
Total                                                                                  = Rp13.964,00
Harga jual B-30     = total : 2 = Rp13.964,00 : 2               = Rp6.982,00/L
Mahalnya harga jual bahan bakar campuran tersebut hanya sementara waktu, yaitu selama harga minyak dunia belum meroket.
5.         Melakukan Kampanye dan Sosialisasi Penggunaan B-30 (2045-2050)
Kampanye dan sosialisasi dilakukan untuk mengikis keragu-raguan masyarakat dalam menggunakan B-30. Hal ini dapat dilakukan melalui aksi turun ke jalan, penyuluhan ke desa-desa, spanduk, seminar, dan iklan di media masa.
6.         Pembenahan Kebijakan Ekspor Biodiesel dan Bahan Baku Biodiesel (2025 sampai 2030)
Pemerintah perlu membuat aturan pembolehan ekspor biodiesel dan bahan baku biodiesel, yaitu setelah bahan baku B-30 tercukupi. Di samping itu, pemerintah juga perlu mengawasi sepak terjang para eksportir, agar sumber daya yang melimpah di negeri ini tidak dijual keluar negeri dengan dalih lebih menjanjikan keuntungan. Seandainya hal ini terjadi, maka  permintaan bahan baku dalam negeri tidak ter-cover dan harganya menjadi mahal atau dapat disebut kegagalan pasar domestik. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan fiskal dengan memberlakukan tarif bea keluar yang tinggi. Namun jika produksi dalam negeri sudah tercukupi dan cadangan bahan baku B-30 memadai, pemerintah dapat menempuh kebijakan fiskal lain yang bersifat ekspansif guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dismping itu, pemerintah juga perlu memikirkan pengelolaan gliseril dan basa sabun yang dihasilkan dalam proses pembuatan biodiesel agar dapat menghasilkan value added.
7.         Perekrutan 25% Tenaga Kerja dari Pengangguran (2025 sampai selanjutnya)
Salah satu sasaran penerapan B-30 adalah mengurangi pengangguran, maka dalam perekrutan tenaga kerjanya harus berimbang antara yang sudah berkompeten, berpengalaman, dan sedikit pengalaman (pengangguran).

      Implikasi Penerapan B-30 di Indonesia pada Tahun 2050 terhadap Peningkatan Ketahanan Energi dan Perekonomian Nasional
1.         Implikasi Penerapan B-30  terhadap Ketahanan Energi Nasional
Mengacu pendapat Awerbuch pada landasan teori, maka penerapan B-30 di Indonesia merupakan suatu upaya melepaskan kebergantungan negara ini terhadap salah satu bagian terbesar dari BBM, yaitu solar. Ketahanan energi tersebut jelas terlihat mengingat bahan baku utama B-30 adalah tumbuhan, yaitu minyak sawit dan minyak jarak, sehingga  potensi keberlanjutan dan peningkatan produksi B-30 di masa depan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan solar yang merupakan sumber energi yang butuh waktu sangat lama untuk bisa diperbarukan. Akibatnya, Indonesia tidak perlu cemas seandainya sewaktu-waktu harga solar meroket.
2.         Implikasi Penerapan B-30 terhadap Perekonomian Nasional
Mengacu pendapat Rogner dan Popescu pada landasan teori, maka penerapan B-30 di Indonesia merupakan upaya menjaga stabilitas energi yang dapat membawa dampak baik terhadap perekonomian nasional, seperti:
1)         Kemandirian Energi Solar Nasional
Kemandirian energi solar nasional merupakan sasaran utama diterapkannya B-30 di Indonesia agar negeri ini tidak perlu mengeluarkan dana APBN dalam jumlah besar untuk mengimpor kekurangan solar. Akibatnya, berpapapun harga solar dunia akan meroket nantinya, hal tersebut tidak akan berdampak besar terhadap perekonomian nasional.
2)         Pengurangan Pengangguran
Dampak lain yang dapat ditimbulkan dengan diterapkannya B-30 di Indonesia adalah pengurangan pengangguran nasional. Dalam pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa untuk menerapkan B-30 di Indonesia dibutuhkan sedikitnya 6,5-10 juta orang di perkebunan dan di pabrik biodiesel, apabila seperempat saja dari jumlah tersebut direkrut dari pengangguran, maka akan terjadi pengurangan angka pengangguran sebesar 19,53-30,05% dibanding tahun 2010.
3)         Peningkatan Kesejahteraan Petani
Implikasi lain yang ditimbulkan dengan diterapkannya B-30 di tanah air adalah produktivitas lahan kering meningkat, sehingga  penghasilan  petani pun akan meningkat. Sebagai contoh jika B-30 diterapkan dengan menggunakan tanaman jarak, maka akan dibutuhkan pasokan biji jarak sebanyak 83,85 juta ton/tahun dari lahan seluas 12,9 juta ha, seandainya harga per kg nya dipatok pemerintah sebesar 1200 rupiah dan biaya perawatan diasumsikan 40%, maka setiap petani akan mendapat tambahan penghasilan sebesar Rp780.000,00 perbulan (1 petani menangani 2 ha lahan).
4)         Pertumbuhan Berbagai Sektor  Industri dan Agrobisnis
Implikasi lain yang ditimbulkan dengan diterapkannya B-30 di Indonesia adalah tumbuhnya sektor-sektor industri baru. Hal ini dapat terjadi mengingat dalam proses pembuatan biodiesel akan dihasilkan gliseril dan basa sabun sebanyak 10%, sehingga untuk penerapan B-30 akan dihasilkan sebanyak 2,74 juta kL/tahun. Gliseril tersebut nantinya dapat dijadikan industri kosmetik atau diolah lagi menjadi metanol, sedangkan basa sabun dapat dikembangkan menjadi industri sabun. Di samping itu, sektor agrobisnis pun akan semakin berkembang, sebagai konsekuensi penambahan permintaan bahan baku biodiesel akibat penambahan jumlah pabrik biodiesel setiap tahunnya.
5)         Inflasi Dapat Ditekan
Inflasi kerap terjadi ketika harga minyak dunia meroket. Dengan diterapkannya B-30 di Indonesia, maka pengaruh meroketnya harga minyak dunia terhadap harga barang kebutuhan pokok dapat diperkecil. Akibatnya, inflasi pun dapat ditekan.


DAFTAR PUSTAKA

Awaludin, Rhohadi.2006. Serba-serbi Energi Bunga Rampai Energi dari Negeri Sakura          “Memacu Penggunaan Energi Terbarukan”. Bandung: Ganesa.
Awaludin, Rhohadi.2006. Serba-serbi Energi Bunga Rampai Energi dari Negeri Sakura          ”Membangun Ketahanan Energi”. Bandung: Ganesa.
Bayu Krisnamurthi, 2005. Pengembangan Biofuel Berbahan Baku Jarak Pagar sebagai Bagian dari Kebijakan Diversifikasi Energi Nasional. ybkrisna@indo.net.id
Data BPPT 2007.
Data BPS 2010.
Data Departemen ESDM Tahun 2007.
Data Departemen Perkebunan Kal.Sel. 2006.
Data Departemen Energi Nikaragua 2005.
Data DitjenMigas 2011.
Data KADIN Indonesia 2010.
Data Kementrian ESDM 2011.
Data MASLI 2008.
Data Palm Oil Institut 2010.
Data Pertamina 2010.
Data Statistika 2004.
Inpres RI No.10 Tahun 2011.
Kompas, 12 Mei 2005.
Peraturan Mentri Perdagangan No.67 Tahun 2000.
Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006.
Prakoso, Tirto.2006. Serba-serbi Energi Bunga Rampai Energi dari Negeri Sakura     “Potensi Energi di Benua Maritim Indonesia". Bandung: Ganesa.
Renilaili dan Erna Yuliwati, Rekayasa Sistem Teknologi Pembuatan Biodiesel dari CPO   Menjadi Kontinyu.” 7 November 2009.
Rogner H-H. and A. Popescu (2000): “An Introduction to Energy”. Chapter 1 of “World  Energy  Assessment: Energy and the Challenge of Sustainability”, J. Goldemberg         (ed.). United Nations Development Programme (UNDP).
S. Awerbuch, R. Sauter, Exploiting the oil-GDP effect to support renewable deployment,  Energy Policy, In Press, Corrected Proof, Available online 21 June 2005.
Sukur, Edi.2006. Serba-serbi Energi Bunga Rampai Energi dari Negeri Sakura          “Biodiesel dan Bioethanol: Energi Alternatif Bahan Bakar Minyak".        Bandung: Ganesa.
X. Li, Diversification and localization of energy system for sustaineable development and  energy security, Energ Policy 33, 17 (2005) 2237-2243.
Yuliarto, Brian.2006. Serba-serbi Energi Bunga Rampai Energi dari Negeri Sakura    “Deversivikasi Energi: Catatan Untuk Ketahanan Energi Kita”.          Bandung:Ganesa.
http:// annedpt09.wordpress.com/perkembangan-industri-biofuel                                                   diunduh Juni 2011
http://annedpt09.wordpress.com/2010/05/04                                                                                diunduh Juni 2011
http://www.agribisnis.deptan.go.id/Biodiesel                               
http://www.datacom.co.id/biofuel2008/nd.html                                                                             diunduh Juni 2011
http://www.duniaindustri.com/2011                    
http://www.manado.tribunews.com/2011                        
http://www.migas-indonesia.com/files/article/potensi-biodiesel.doc                                                diunduh Juni 2011                                             
       
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=279060                                                 diunduh Juni 2011